Ki Ageng Kutu

Ki Demang Gede Suryo Ngalam

Petilasan Surukubeng

Ki Ageng Kutu atau di sebut juga Ki Demang Gede Suryo Ngalam adalah penguasa kademangan Suru Kubeng sekarang terletak di  Desa Kutu Kec. Jetis Kab. Ponorogo. Dikatakan bahwa ki Ageng Kutu adalah orang sakti beragama Buddha yang terkenal sakti mandraguna, beliau adalah mantan perwira Majapahit di masa Brawijaya V.

Ketika terjadi peperangan dalam tubuh Majapahit ki Ageng Kutu memilih pulang kampung dan mendirikan padepokan di daerahnya. Beliau mendidik putra-putri daerah Ponorogo berbagai macam ilmu, selain Ilmu kanuragan juga ilmu filsafat dan juga Seni. Seni Reog di katakan adalah salah satu karya demang Suryo Ngalam.

Ki Ageng Kutu mempunyai tiga orang anak, si sulung adalah Putri bernama Niken Gandini, kedua adiknya adalah laki-laki bernama Suryodono dan Suryodoko. Niken Gandini kelak menjadi Istri dari Bhatara Katong, sedangkan setelah ayahnya meninggal, kedua adiknya menjadi pengikut Bhatara Katong. Suryodono menjadi pengawal pribadi Bhatara Katong dan berganti nama menjadi Suromenggolo, sedangkan Suryodoko menggantikan ayahnya memimpin Surukubeng dan dikenal dengan nama Surohandoko.

Sebagai orang jawa, ki Ageng Kutu juga mempunyai dua buah pusaka yang berwujud keris. Keris yang pertama adalah Kyai Jabadras, dan yang kedua bernama Kyai Condong Rawe/Kyai Rawe Puspito. Dalam warangka keris Kyai Condong Rawe konon di huni oleh sepasang jin laki-laki dan perempuan. Yang Laki-laki bernama Kluntung Wuluh dan yang perempuan bernama Klenting Mungil.

KEHIDUPAN di SURUKUBENG

Setiap malam ki Demang Suryo Ngalam melatih para pemuda-pemudi di daerahnya, dengan memakai celana kolor hitam dengan kombinasi merah di sampingya, dan berbaju penadon tanpa krah dan berikat kepalakan kain brabon cina warna hitam. Dengan di temani suara gamelan mereka berlatih berbagai macam ilmu kanuragan, dari japa mantra hingga adu tenaga. Mereka bergumul, bertinju, adu kepala, saling banting, hingga saling lempar batu. Itulah menu latihan mereka tiap hari, Jika ada yang cedera Ki Demang segera mengobati dengan keahliannya, jika kesleo dengan tangkas ki Demang segera memijatnya, dan jika ada yang tergores dan berdarah, hanya dengan air liurnya ki Demang dapat mengembalikan kulit yang terluka seperti sedia kala.

Di padepokan Surukebeng ki Ageng Kutu tidak sendirian, beliau di temanai tiga orang warok sekaligus kepala desa yang masing-masing akan siap membantu jika ada yang terkena kesusahan. Yang paling berperan di antaranya adalah ki Honggolono dari Golan dan Ki Honggojoyo dari Gunung Pegat. Tiga orang inilah yang menjadi tiang penyangga berdirinya Padepokan Surukubeng.

PEMICU PERANG SURUKUBENG dan PONOROGO

Kejadian bermula ketika kandasnya kisah cinta antara putra ki Honggolono dan putri dari Ki Ageng Mirah. Dan tetap menjadi mitos hingga kini antara desa Golan dan Desa Mirah.

Berawal dari pertemuan antara Joko Lancur putra Ki Honggolono dan Amirah putri dari Ki Ageng Mirah. Dari pandangan pertama mereka sudah saling mencintai, Joko Lancur-pun memberanikan diri hendak melamar Amirah dan memberi tahu ayahnya. Ki Honggolono terperanjat kaget mendengar penuturan putranya. Bukannya tidak suka anaknya menikah, namun warga desa Mirah kebanyakan adalah kaum muslim, dan warga Golan adalah umat Buddha. Pernikahan yang tidak se-Agama di percaya oleh ki Honggolono akan membawa bencana. Namun demi ke-bahagiaan putranya Ki Honggolono-pun bersedia menuruti kemauannya.

Saat sampai di ke diaman Ki Ageng Mirah ki Honggolono-pun menyampaikan maksud kedangannya. Ki Ageng Mirah yang mengetahui watak ki Honggolono yang tempramental tidak berani menolak, namun jika di terima itu bertentangan dengan prinsipnya. Karena putrinya tidak akan di nikahkan dengan pria non-muslim. Untuk menyampaikan penolakannya secara halus Ki Ageng Mirah pun mengajuka 3 syarat untuk mas kawin pernikahan putrinya. Yang pertama, seluruh sawah desa Mirah harus di aliri air dalam semalam, kedua, minta di bawakan padi dan kedelai masing-masing satu lumbung dan terisi penuh. Ketiga, ke dua lumbung harus datang sendiri ke Mirah tanpa di gotong manusia.

Ketika hari persepsi tiba, ketiga syarat yang di ajukan ki Ageng Mirah telah terpenuhi. Lumbung padi dan kedelai seolah terbang mengiringi mempelai pria dalam perjalanan dari Golan ke-Mirah. Iring-iringan mempelai pria yang di sertai Lumbung terbang tsb membuat semua orang terpana melihatnya. Semua memuji ketampanan Joko Lancur yang telah berdandan sedemikian gagah, dan juga ke-saktian ki Honggolono yang mampu menerbangkan Lumbung.

Iring-iringan pun sampai di kediaman mempelai wanita, Ki Ageng Mirah sempat terkejut dengan kemampuan Ki Honggolono. Dia-pun mengakui jika ki Honggolono memang sakti, namun demi melindungi putrinya yang beliau tidak rela di nikahi oleh orang tak se-agama, ki Ageng Mirah memantrai lumbung padi dan kedelai itu. Ki Ageng Mirah meminta ki Honggolono untuk melihat isi lumbung itu. Ki Honggolono terkejut, Matanya terbelalak, mulutnya menganga dan wajahnya memerah penuh amarah. Lumbung yang semula penuh berisi padi dan kedelai, berubah menjadi kawul (daun padi kering) dan kulit kedelai saja.

Ki Honggolono yang tau telah di kelabuhi ki Ageng Mirah dan merasa di permalukan diapun marah. Dengan sekali tatap, matilah Amirah yang berda di belakang Ayahnya. Mengetahui jantung hatinya tak bernyawa Joko Lancurpun mencabut keris, dan menikam dadanya menyusul kekasihnya di alam Baka.

Permusuhan antara ki Ageng Mirah Dan Ki Honggolono ternyata masih berlanjut. Ketika padepokan Surukubeng ke datangan tamu dari Ponorogo, yaitu patih Selo Aji dan Ki Ageng Mirah. Surukubeng yang saat itu sedang ada pertemuan rutin antara para pendekarnya. Dimana Ki Honggolono dan Ki Ageng Kutu juga ada disana.

Ketika melihat Ki Ageng Mirah, ki Honggolono tersulut emosinya karena teringat akan kejadian yang telah lalu. Di cabutlah golok yang terselip di pinggangnya. Mengetahui itu, patih Selo Aji dengan cepat melompat dan menyerang Ki Honggolono. Dada bidang Honggolono menjadi sasaran tendangan Selo Aji, ia terpental jatuh ke tanah.

Melihathal itu ki Ageng Mirah lari menyelamatkan diri, dengan di kejar para pendekar Surukubeng perkelahianpun tak dapat di hindari. Honggolono yang setengah sadar bangkit dari jatuhnya. Dengan golok masih tergenggam ia menyerang Selo Aji. Dengan bersenjatakan Tombak Tunggul Naga Selo Aji menghadapi Ki Honggolono. Namun karena di kuasai amarah Honggolono menyerang dengan membabi buta, tanpa peduli posisi dan juga kuda-kudanya, hingga dia terpeleset dan jatuh di dekat pohon waru, dengansigap akn hal itu Selo Aji egera melemparkan tombak tepat mengenai dada Ki Honggolono.

Tahu akan lawannya yang terluka Selo Aji segera lari, di perintahkan segenap laskar Ponorogo untuk mundur. Mengetahui kawan dan juga salah satu sesepuh Surukubeng terluka, par segenap pendekar Surukubeng menghentikan petarungan. Di rawatnya sang warok. Namun naas, takdir berkehandak lain, dengan dada bersimbah darah Ki Honggolono menghembuskan nafas terakirnya.

Surukubeng di rundung duka, dan mereka pun bersiap untuk membalas ke Kadipaten Ponorogo usai merawat jenasah sang Warok Honggolono.